Jumat, 13 Maret 2009

Bacillus thuringiensis

Ciri-ciri Morfologi Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Ciri-ciri Morfologi B. thuringiesis antara lain:

  1. mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 – 1,2 mm,
  2. mempunyai flagella,
  3. membentuk spora berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 m,
  4. spora relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia,
  5. pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35° - 37°C,
  6. spora mengandung asam dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora,
  7. sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel,
  8. bersifat gram positif,
  9. aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif,
  10. dapat tumbuh pada media buatan,
  11. suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15°- 40°C.

Fisiologi Bacillus thuringiensis

Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( - endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla, Kramer dan Davidson, 1977).

Kristal protein tersusun dari subunit-subunit protein yang berbentuk batang atau halter, mempunyai berat molekul 130 – 140 kDa yang berupa protoksin. Protoksin akan menjadi toksin setelah mengalami hidrolisis dalam kondisi alkalin di dalam saluran pencernaan serangga. Hidrolisis ini melepaskan protein kecil dengan berat molekul sekitar 60 kDa dan bersifat toksik.

Kristal protein mempunyai beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera, memiliki kristal toksin yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval dan amorf umumnya toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang mempunyai daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih.

Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.

Ekologi Bacillus thuringiensis

Salah satu karakteristik dan B. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein dalam sel selama fase sporuIasi Kristal toksin memegang peranan penting karena aktivitasnya sebagai insektisida. Untuk menumbuhkan dan memperbanyak kristal dan spora B. thuringiensis telah digunakan berbagai media kimia seperti agar nutrien, media NYSMA, NYPC dan Tryptose Phosphate Broth. Beberapa peneliti tidak menggunakan media kimiawi untuk menumbuhkan B. thuringiensis, melainkan menggunakan media alami seperti berbagai media kelapa (air dan endospermnya). Media kelapa relatif murah, dapat diperoleh setiap saat dan terdapat di mana-mana, sedangkan media kimia harganya mahal dan tidak mudah diperoleh. Air kelapa dan endosperm kelapa (santan) kaya akan asam amino, gula dan garam serta merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan B.

Thuringiensis.

Tanaman transgenik Bt dapat berproduksi lebih unggul dan tidak perlu racun
insektisida yang selama ini harus disemprotkan. Karena tanamannya sudah
punya racun serangga, sehingga sang hama akan takut mendekat, mereka mati
bila menggigitnya.Isolat Bt dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora Bt menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut di-panaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi Bt. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat Bt.

Taksonomi Bacillus thuringiensis

Bakteri ini tergolong ke dalam :

Divisi = Protophyta

Kelas = Schizomycetes

Ordo = Eubacteriales

Sub-Ordo = Eubacteriineae

Famili = Bacillaceae

Genus = Bacillus

Spesies = Thuringiensis

(Steinhaus, 1949).

Peranan B. thuringiensis dalam pengendalian hama C. binotalis

Untuk mengendalikan hama C. binotalis, pada umumnya petani kubis di Indonesia melakukannya dengan cara kimia. Petani melakukan penyemprotan dengan insektisida kimia sintetik satu kali dalam 2-3 hari. Kadang-kadang petani masih melakukan penyemprotan pada kubis yang siap dipanen, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap konsumen dan lingkungan.

Untuk menghidari dampak negatif penggunaan insektisida kimia sintetik tersebut, maka alternatif pengendalian perlu terus dicari dan dikembangkan diantaranya pengendalian dengan menggunakan musuh alami hama (pengendalian secara hayati) seperti penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis Berliner. Dalam hubungannya sebagai agen pengendali hayati, bakteri ini merupakan mikroorganisme yang paling banyak mendapat perhatian selama ini.

Hasil pengujian toksisitas B. thuringiensis terhadap larva C. binotalis menunjukkan bahwa bakteri ini, baik dalam bentuk formulasi maupun biakan murni dapat mematikan larva C. binotalis sebesar 76 – 96 % setelah lima hari aplikasi. Pada Tabel 1 berikut dapat dilihat persentase mortalitas larva C. binotalis pada uji toksisitas bakteri.

Tabel 1. Persentase mortalitas larva C. binotalis pada uji toksisitas B. thuringiensis ____________________________________________________________________ Perlakuan Mortalitas larva hari ke- (%)

1 2 3 4 5

_____________________________________________________________________

Bactospeine WP 50,67 90,67 96,00 96,00 96,00

B. thuringiensis subsp. berliner 53,33 86,67 90,67 90,67 94,67

TUREX WP 48,00 96,00 96,00 96,00 96,00

B. thuringiensis subsp aizawai 23,33 62,67 66,67 74,67 76,00

Kontrol 4,00 4,00 5,33 5,33 5,33

_____________________________________________________________________

(Sumber : Sriganti, 2000)

Berdasarkan Tabel 1 di atas secara umum terlihat bahwa B. thuringiensis cukup efektif dalam mematikan larva C. binotalis. Kematian larva sudah mulai terjadi satu hari setelah aplikasi B. thuringiensis dan persentase kematian meningkat sampai lima hari setelah aplikasi, dimana hampir seluruh larva yang diuji menimbulkan kematian. Hasil penelitian Trizelia (1998) juga menunjukkan bahwa infeksi B. thuringiensis pada larva C. binotalis dapat mematikan larva dan tingkat kematian larva berkisar antara 63,52 % – 90 %, tergantung pada konsentrasi bakteri yang digunakan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bakteri B. thuringiensis mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian hama C. binotalis pada tanaman kubis. Akan tetapi dalam penggunaannya di lapangan, sebaiknya aplikasi bakteri dilakukan pada sore hari agar kristal tidak mengalami degradasi oleh radiasi UV sebelum termakan oleh hama, karena kristal ini bersifat labil di bawah pengaruh sinar matahari, baik melalui sinar UV atau suhu tinggi. Hal ini yang menyebabkan mengapa persistensi dan stabilitas B. thuringiensis di lapangan tidak lama. Hasil penelitian Santoso et al. (1992) menunjukkan bahwa stabilitas residu efektif hanya bertahan maksimum satu minggu.

Selain adanya keragaman varietas dan stabilitas kristal protein di lapangan, beberapa faktor lain dalam batas-batas tertentu ikut menentukan keberhasilan pengendalian hama dengan menggunakan B. thuringiensis, seperti pH permukaan daun yang tinggi sehingga pada daun sudah terjadi sebagian hidrolisis kristal, akibatnya daya racun B. thuringiensis menurun dan pada beberapa tanaman tertentu mengandung senyawa anti bakteri.

Pencampuran B. thuringiensis dengan pestisida lain juga dapat dilakukan, tetapi harus dilandasi dengan penelitian yang teliti, karena data yang ada kadang-kadang tidak konsisten, sebagai contoh pencampuran B. thuringiensis dengan Nuclear Polyhedrosis Virus Spodoptera litura tidak memberikan keuntungan (Santoso et al., 1992), tetapi pencampuran B. thuringiensis dengan Beauveria bassiana lebih menguntungkan dan lebih efektif dibandingkan jika patogen tersebut digunakan sendiri-sendiri (Trizelia, 1998).

Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar